Adakah pelangi yang masih menyapaku dengan
kelembutan hati?. Adakah pandangan yang
mampu membuatku terlena dengan keindahanya?. Dan adakah bangunan yang paling indah selain pondok pesantren
Nurul Huda yang terletak tidak jauh dari menara monas ?. Yang mungkin menurut pandangan
orang-orang awam adalah tempat yang kumuh, para orang-orang kolot dan tak
menyesuaikan akan zaman?. Bagi mereka
yang tidak mengerti akan arti pesantren yang sebenarnya. Dan beribu-ribu
rahasia yang tersimpan di balik
pesantren dan juga banyak pengunjung yang mendatanginya untuk
menimba ilmu di sana. Mungkin mereka beranggap bahwa pesantren adalah tampat obrolan belaka yang tak bermanfaat, hingga
tak dianggap oleh pemerintah karena tidak ada ijazahnya?. Ya... mungkin saja begitu...
@@@
Aku masih termangu dalam lamunanku, terpaku dalam
bisu. Membayangkan betapa bahagianya mereka (para santri) bisa belajar bersama,
tertawa, berbagi senyuman, dan berbagai keadaan lainya yang membuatku iri
dibuatnya. Aku berharap bisa menimba ilmu di sana, bersama mereka yang selalu
ceria dalam kehidupanya. Aku pun membayangkan betapa mulianya mereka di hadapan
Tuhanya, dan betapa hinanya diriku ini di hadapan-Nya.
“Hey… melamun saja kau! ”, tiba-tiba Rizal
membuyarkan lamunanku. Rizal adalah
teman baikku dari madura, Aku bertemu denganya di Bus kota
saat menuju Jakarta, dia adalah orang yang baik, penuh perhatian
dan lucu.
“Ah.. tak ada apa-apa kok, aku hanya salut pada pondok pesantren yang masih tegak di era
globalisasi ini ” jawabku.
“Pondok mana yang kau maksud ?” tanya Rizal heran
“Pondok pesantren Nurul Huda” jawabku rendah dan dia
pun terdiam beberapa saat
“Ya, aku juga sependapat denganmu, walau aku tak
pernah ada niat untuk kesana, tapi aku faham kalau pesantren adalah wadah bagi
orang-orang yang ingin hidupnya bahagia, tanpa harta.? jelasnya panjang lebar
“Kenapa kau tak ingin ke sana?” tanyaku
“Orang tuaku melarangnya, karena faktor
ekonomi kami yang mengharuskanku untuk mengamen”. aku mengangguk pelan
mendengar penjelasanya, karena
hal itu juga terjadi padaku. Selama beberapa saat kami pun terdiam, merenungi
hidup. Akupun mulai angkat bicara.
“Aku ingin mondok”, datar, tapi penuh tekanan. Rizal hanya melongo seakan tak percaya.
“ Ya… itulah keputusanku ”, tegasku lebih jelas. Rizal hanya menundukkan
kepalanya seolah memegang beban berat.
“Tapi bagaimana dengan orang tuamu ?, dan apakah kau sudah cukup banyak
uang?“. tanya Rizal
“Aku yakin kalau orang tuaku mengijinkan. Untuk masalah uang, itu bisa diurus nanti.
Aku yakin Allah memudahkan jalan hambanya yang ingin mendekat kepadanya”.
“Baiklah kalau itu sudah menjadi pilihanmumu, aku pun tak dapat mencegahnya.
Aku hanya berpesan, jangan lupakan aku”.
“ Terima kasih kawan ”. Kamipun berpelukan erat dan
meneteskan airmata bersama. Tapi aku masih ragu untuk meminta izin pada ayah
dan ibu. Akhirnya ku tunda keinginanku tersebut tuk beberapa waktu.
@@@
Keesokan harinya
kami mengamen seperti biasanya, aku bernyanyi sambil membawa gitar kecil dan
Rizalpun membawa gendang. Bus demi bus telah kami singgahi demi mencukupi kebutuhan. Rasanya
resah, membosankan hidup di jalanan, tak berarti hidup ini jika dibandingkan
hidup di pesantren, lelah sudah, tubuh lemas untuk meneruskan perjalanan sampai
tujuanku, biasanya setelah mengamen kami sempatkan pergi ke pondok tapi tidak
untuk masuk karna kami belum menjadi santri, kadang ku mendengarkan tausyiah KH.
Makhrus ketika menyampaikan lewat speker di atas masjid, “Awakmu kabeh iku
kudu wedi karo wong sing nggawe (orang tua )mulane kito kabeh ojo sampe
nglarakk,e mergane ridloe pengeran iku tergantung ridlone wong tuo loron kito
kabeh” begitulah kyai Makhrus menyampaikan tausyiahnya.
Sengaja aku naik bus ini karena satu jurusan menuju pondok, dengan alasan agar bisa melihat bangunan
indah dan ikut mengaji kilatan di pesantren Nurul Huda. Aneh sekali ketika
sampai di perempatan jalan, kami berdua sedang asyik bernyayi, tiba-tiba kami melihat anak kecil tengah
bermain bola bersama teman-temanya, karena saking
asyiknya bermain si anak tersebut berlari kearah jalan raya untuk mengambil bola yang terlempar melambung jauh, tanpa melihat kanan kiri, dan ternyata ada mobil konteiner
melaju dari arah kanan jalan,
“AWAS… ” teriakku sambil berlari menuju anak tersebut
untuk menyelamatkanya,
BRUK…!
“ Ah……..”. aku tertabrak mobil kointener sebagai
ganti tubuh anak kecil itu, tubuhku lemas dan kepalaku pening, penglihatanku
buram tak menentu, dan hilang sudah semua indraku.
@@@
Kepalaku sakit. Apa yang
terjadi pada diriku? sehingga
aku berbaring di sini, apa ini akibat kejadian tadi sehingga aku berada di sini. Aku tak
percaya dengan semua ini. Dimana tubuhku yang asli, dimana Rizal dan dimana gitar kecilku? Ya Allah apa semua ini pemberian-Mu setelah aku menyelamatkan nasib anak kecil itu,
bagaimana bisa terjadi dengan semua ini, bagaimana aku bisa keluar dari sini, Aku
tak punya uang untuk berobat, dan bagaimana dengan keluargaku, ibuku apakah
mereka mengetahui dengan keberadaanku disini, pikiranku terombang-ambing tak
menentu, tiba-tiba kuterdengar suara aneh dari telingaku “isbir ya akhi” dari manakah suara itu datang, dan dari
manakah suara itu berasal ?, ku coba membuka mataku agar bisa melihat di sekelilingku
dan ternyata hanya ada satu orang yang menjagaku yang tak kukenal
“Alhamdulillah.. ternyata kau sudah sadar! ” Ucap pemuda itu
“Dimana aku berada?” tanYaku dengan suara rendah
“Tenang mas kau sudah selamat. Sekarang anda berada di rumah kyai Makhrus, namaku
Iqbal dan aku adalah salah satu pengurus pondok pesantren Nurul Huda. Anak kecil yang kau selamatkan itu adalah
cucunya kyai Makhrus sehingga kau disuruh untuk tinggal sementara di sini ”.
Balasnya
“Apa kyai
Makhrus kenal padaku ” tanyaku agak heran
“Sudah dari
dulu kyai Makhrus mengenalmu. Anda kan yang selalu ke pondok ini setiap hari
untuk mengikuti ngaji kilatan . Akupun sudah mengenalmu dari kyai Makhrus ”
jelas iqbal kepadaku. Setelah agak lama berbincang dengan iqbal akhirnya iqbal pun
pergi keluar dan aku tak sempat untuk
menanyakan keberadaan Rizal.
@@@
Pagi begitu
cerah. Embun
pagi masih terasa dingin di badanku,
mungkin sisa angin malam yang masih melekat di tubuhku. Suara burung mulai
terdengar jelas di telingaku. Tetapi waktu sholat subuh belum ku lalui. Kupasrahkan jiwa di shubuh. Setelah kejadian kemarin rasanya ada
yang berubah dalam hidupku. Tiba-tiba Iqbal telah memberi kabar gembira
kepadaku bahwa aku diterima mondok disini. Alhamdulillah akhirnya aku bisa
mondok di pesantren. Walau aku tak punya uang banyak untuk membiayai pondok
ini. Rasanya indah sekali hidup di ruang yang penuh dengan foto-foto para
ulama, hatiku tentram damai ketika melihatnya.
“ Farhan ayo ngaji pa kyai sudah rawuh “ ajak
salah satu temanku untuk mengaji di mushola
Dan aku menjawabnya dengan senang hati mengiyakan
ajakanya, karna hari ini adalah hari pertama ku mengaji di pesantren akupun
cepat-cepat berangkat. “ Wong seng sineng karo dunyo iku uripe ora bakal
bejo lan slamet nang akhirat, mangkane kito kabeh kudu konaah lan tawadhu ” air
mata seluruh santripun berjatuhan karna terharu oleh kisah yang diceritakan
oleh kyai Makhrus.
setelah selesai ngaji biasanya aku di panggil oleh kyai untuk mencuci pakaian,
menyapu, menguras dan yang lainya.
Nikmat terasa tak ada yang
menyaingi kehidupanku selain di pesantren. Serba ada di pesantren walau tak semua orang
bisa masuk ke pondok. Kegiatanku juga disini hanya untuk mendekatkan kepada Allah
semata. Dan aku juga bercita-cita akan mengembangkan pesantren ini besok lusa.
@@@
Hari demi hari terus berganti. Tak terasa selama 2 bulan kulewati adaptasi di pondok tanpa ada rasa
malas ataupun bosan karena di
pesantren adalah cita-citaku dari sejak kecil hingga sebelum aku mengamen, tetapi akhir-akhir ini
rasanya teman-teman ada yang berubah denganku. Tak biasa rasanya mereka melihatku seperti
itu, apa yang terjadi dengan teman-temanku semua menghindariku bahkan ada juga
yang meledekku dengan kata-kata kotor “Huuh…. dasar pengamen jalanan tak
punya malu”. Seperti itukah mereka di belakangku mengejek dan memakiku,
tiba-tiba Dimas salah satu teman kamar mendekatiku dengan keadaan terburu-buru
“Han… kau celaka, semua santri menuduhmu telah
menyebarkan narkoba di kamar kita” gugup Dimas sambil ngos-ngosan
“Astagfirulloh siapa
yang membuat kabar bohong ini?”
“Aku tidak tau Han... siapa yang melakukanya” jawab Dimas gugup
Akhirnya semua pengurus
telah memutuskan bahwa akulah yang bersalah, padahal aku tak berbuat apa-apa,
kenapa aku bisa seperti ini, kenapa gampangnya mereka menuduhku hanya dengan
bukti bahwa narkoba itu ada di kamarku. Karena mereka mengira bahwa aku adalah
anak jalanan dan sudah terbiasa memakai ganja.
“Kau tetap bersalah Farhan karna semua bukti ini
sudah jelas !” tegas keamanan ketika menyidangku diruang khusus.
“Tapi pak...
saya tidak melakukanya!”
“Bukti
sudah jelas begini masih saja tapi-tapian”
Akhirnya aku di putuskan
untuk segera pergi dari pesantren dalam keadaan tidak hormat, dicukur gundul
dan disoankan pada kyai, walaupun aku diusir dari pesantren tapi kyai tetap
tidak meridhoinya karena buktinya tidak terlalu jelas. Beliau tidak percaya
dengan semua kejadian ini.
“ Pokoknya Farhan harus mondok di sini ” jelas kyai Makhrus
“ Mohon maaf
kyai, dengarkan sebentar penjelasan kami, dia hanya seorang pengamen jalanan yang tak mengerti ilmu agama, makanya
dia memakai narkoba di kamar dan jika
Farhan berada di pondok maka seluruh santri akan bisa terpengaruh olehnya, lagian
semua santri disini juga membencinya
” bantah Iqbal selaku pengurus pondok
“
Cukup...... tutup mulutmu,
tak pantas bagimu berbicara seperti itu, Allahlah yang maha mengetahui
segalanya ” bentak kyai Makhrus dengan nada tinggi, akhirnya Iqbal pun minta
maaf pada pak kyai dan berpamitan untuk segera keluar dari kamar kyai Makhrus
Akhirnya Iqbal
keluar dengan wajah suram dan membawa amarah kepadaku, tak aku sangka pesantren
ini membenci semua orang-orang jalanan sepertiku, mungkin mereka menganggap
kami semua adalah orang-orang tak berguna di pesantren ini dan hanya mengganggu
santri-santri. Hatiku terasa hancur bagaikan dihembus debu beracun. Tak enak
rasanya berlama-lama di pesantren ini lebih baik aku pergi sendiri saja tanpa
dipaksa keras keamanan dari sini, aku pun pergi dari pondok tanpa permisi kepada
kyai, “Maafkan aku kyai, Farhan pamit dulu” teriakku dalam hati, puluhan
santri melihat kepergianku dengan tajam, aku dimaki tanpa punya rasa malu
terhadap kyai, bahkan ada yang sampai melemparku dengan kerikil. Remuk sudah
hatiku berada disini tak tahan rasanya ingin kupukul satu persatu santri di sini
termasuk juga pengurus pondok. sedih rasanya,
setelah sampai di pintu gerbang pesantren akupun berteriak “Allah tidak buta
sobat… semoga kalian semua menyadarinya!!!”
Pun kyai Makhrus mendengar
suaraku dan melihat aku berlari diiringi dengan tetesan air mata membasahi pipi
beliau menatapku sedih.
@@@
Aku mulai
enggan hidup. Rasanya aku ingin kembali ke masa lalu. Dimana aku masih bersama
keluargaku di jawa tengah. Tapi hal itu tak mungkin bagiku, lebih baik kubuang
jauh-jauh hal itu. Aku berlari sekencang kencangnya dengan membawa tangis. Tak peduli
ratusan orang melihatku seperti orang gila. Memang aku sekarang stress. Di sekitarku banyak orang yang mengenaliku
tetapi aku tidak. Lari dan berlari, hanya itu untuk menghilangkan rasa sedihku.
Entah kemana aku harus berlari. Sejauh mungkin agar mereka tak lagi melihatku. Lebih
baik aku pulang saja. Rizal telah menungguku di gubuk, dari pada di sini hanya cacian
dan makian yang selalu menimpaku. Aku pun pulang. Ketika dipererbatasan jalan Pantura,
aku masih saja terus berlari tanpa melihat kanan kiri karena air mata selalu
menutupiku untuk melihat. Tiba-tiba bayangan benda besar mendekatiku melaju
dengan cepat, dan akupun berhenti sejenak dan ternyata
BRUK…!
Kejadian
yang lalu telah terjadi lagi pada diriku, Ternyata Allah telah memanggilku, tubuhku terpental kesamping jalan dengan darah yang
berceceran. Kepalaku membentur trotoar dengan sangat keras. Terasa begitu linu. Sekujur tubuhku kaku. Mati rasa. Kulihat
bayang-bayang hitam merayap melewati pelupuk mataku. Bayangan putih merambat pelan. Gelap
sudah.
kejadianku
tersebar begitu cepat ke seluruh penjuru sampai ke pesantren. Semua penghuni ma’had kaget bukan kepalang mendengarnya, akhirnya mereka meminta maaf pada kyai agar
mendoakanku. Mereka
semua menyesal atas perbuatanya selama ini. Malam harinya seluruh santri dan kyai makhrus
bahkan Rizalpun bermimpi bahwa Farhan
sudah bahagia di alam sana bersama bidadari indah jelita.
Sekian
By : Y@gami _V
Selasa
25 Februari 2013
Sip!! Ceritanya mengharukan. Tp knp si farhan hrus mati??
ReplyDelete